BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dari dulu sampai sekarang, rumah
sakit selain sebagai tempat berobat untuk peyakit yang diklasifikasikan berat,
rumah sakit juga menjadi tempat bersarangnya bibit penyakit, bibit penyakit di
rumah sakit bukan jenis bibit penyakit biasa, melainkan bibit penyakit yang
sudah resisten terhadap antiiotika, jenis kuman resisten seperti ini yang
bercokol di pelosok ruangan rumah sakit, bisa saja melekat di alat-alat
pemeriksaan medis, alat-alat bantu medis, alat-alat bedah, serta perlengkapan
rumah sakit lainnya yang mungkin lolos dari prosedur sanitasi dan sterilisasi.
Pasien, petugas kesehatan,
pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat
infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien
kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau
keluarga maupun dari petugas kepada pasien.
Pengetahuan tentang pencegahan
infeksi sangat penting untuk mahasiswa kesehatan yang nantinya akan menjadi
petugas di Rumah Sakit dan sarana kesehatan lainnya merupakan sarana umum yang
rawan untuk terjadi infeksi. Cara penanggulangan dalam penularan infeksi di
Rumah Sakit, dan upaya pencegahan infeksi adalah hal yang harus diperhatikan
dalam mengatasi infeksi nosokomial. Namun selain itu, alat medis yang menjadi
salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh dalam penularan infeksi
tersebut. Untuk itu dalam makalah ini akan dibahas pengaruh alat medis terhadap
penyebaran infeksi nosokomial. Untuk seorang petugas kesehatan, kemampuan dalam
penggunaan alat medis memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan, karena
mencakup setiap aspek penanganan pasien, sehingga petugas harus sangat
berhati-hati dalam penggunaannya
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Infeksi Nosokomial ?
2. Bagaimana Penularan Infeksi Nosokomial ?
3. Apa saja Penyebab Infeksi Nosokomial ?
4. Bagaimana Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial ?
5. Bagaimana Pencegahan Infeksi Nosokomial ?
C. Tujuan
Penulisan
1. Mengetahui definisi infeksi nosokomial.
2. Mengetahui penularan infeksi nosokomial
3. Mengetahui penyebab infeksi nosokomial
4. Mengetahui rantai infeksi nosokomial
5. Mengetahui pencegahan infeksi nosokomial
D. Manfaat
Penulisan
Dengan adanya makalah ini semoga
bisa menambah pengetahuan para pembaca khususnya mahasiswa Stikes Tanjungpinang
tentang Infeksi Nosokomial.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Infeksi Nosokomial
Infeksi Nosokomial, berasal dari
kata yunani nosos (penyakit) dan komeion (merawat) nosocomion berarti”Rumah
Sakit” jadi infeksi nosokomial ialah infeksi yang di peroleh selama dalam
perawatan di rumah sakit. Infeksi nosokomial biasanya timbul ketika, pasien di
rawat 3 x 24 jam di rumah sakit dan infeksi ini sangat sulit di atasi karna di
timbulkan oleh mikroorganisme dan bakteri.
Jenis yang paling sering adalah
infeksi luka bedah dan infeksi saluran kemih dan saluran pernafasan bagian
bawah (pneumonia). Tingkat paling tinggi terjadi di unit perawatan khusus,
ruang rawat bedah dan ortopedi serta pelayanan obstetri (seksio sesarea).
Tingkat paling tinggi dialami oleh pasien usia lanjut, mereka yang mengalami
penurunan kekebalan tubuh (HIV/AIDS, pengguna produk tembakau, penggunaan
kortikosteroid kronis), TB yang resisten terhadap berbagai obat dan mereka yang
menderita penyakit bawaan yang parah
Sebagaimana jenis infeksi penyakit
lainnya, infeksi nosokomial biasanya terjadi jika penderita lemah atau jika
barier alamiah terhadap invasi mikroba terganggu. Terdapat beberapa jenis
barier alamiah terjadinya infeksi penyakit. Sebagaimana diketahui, kulit,
membran mukosa, saluran gastrointestinal, saluran kencing, dan saluran nafas
atas berfungsi sebagai barier alamiah terhadap infeksi.
Kriteria
infeksi nosokomial (Depkes RI, 2003), antara lain :
1. Waktu
mulai dirawat tidak didapat tanda-tanda klinik infeksi dan tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi
tersebut.
2.
Infeksi terjadi sekurang-kurangnya 3x24 jam (72 jam) sejak pasien mulai dirawat.
3.
Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan yang lebih lama dariwaktu
inkubasi infeksi tersebut.
4.
Infeksi terjadi pada neonatus yang diperoleh dari ibunya pada saat persalinan
atau selama dirawat di rumah sakit.
5.
Bila dirawat di rumah sakit sudah ada tanda-tanda infeksi dan terbukti infeksi
tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu
yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
B. Penularan
Infeksi Nosokomial
Cara penularan
infeksi nosokomial antara lain :
1. Penularan
secara kontak
Penularan ini dapat terjadi baik
secara kontak langsung, kontak tidak langsung dan droplet. Kontak langsung
terjadi bila sumber infeksi berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya
person to person pada penularan infeksi hepatitis A virus secara fekal oral.
Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya
benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi
oleh sumber infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.
2. Penularan
melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati
yang telah terkontaminasi oleh kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih
dari satu pejamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah atau produk
darah, cairan intra vena, obat-obatan, cairan antiseptik, dan sebagainya.
3. Penularan
melalui udara dan inhalasi
Penularan ini terjadi bila
mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga dapat mengenai
penjamu dalam jarak yang cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya
mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas akan membentuk
debu yang dapat menyebar jauh (Staphylococcus) dan tuberkulosis.
4. Penularan
dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara
eksternal maupun internal. Disebut penularan secara eksternal bila hanya
terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganime yang menempel pada tubuh
vektor, misalnya shigella dan salmonella oleh lalat. Penularan secara internal bila
mikroorganisme masuk kedalam tubuh vektor dan dapat terjadi perubahan biologik,
misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologik,
misalnya Yersenia pestis pada ginjal (flea).
5. Penularan
melalui makanan dan minuman
Penyebaran mikroba
patogen dapat melalui makanan atau minuman yang disajikan untuk penderita. Mikroba patogen dapat
ikut menyertainya sehingga menimbulkan gejala baik ringan maupun berat.
C. Penyebab
Infeksi Nosokomial
1. Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam
mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai
macam mikroorganisme ini tidak selalu menimbulkan gejala klinis karena
banyaknya faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada :
a)
Karakteristik
mikroorganisme
b)
Resistensi
terhadap zat-zat antibiotika
c)
Tingkat
virulensi, dan
d)
Banyaknya
materi infeksius.
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit
dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh
mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor
eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan
benda atau bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah
sakit saat ini kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu
ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada
orang normal.
2. Respon dan toleransi
tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon
tubuh pasien dalam hal ini adalah:
a) Usia
b) Status imunitas penderita
c) Penyakit yang diderita
d) Obesitas dan malnutrisi
e) Orang yang menggunakan obat-obatan
f) Imunosupresan dan steroid
g) Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk
melakukan diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan
penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita
menderita penyakit kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus,
gagal ginjal dan AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh
terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan
yang bersifat immunosupresif dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi,
endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi.
3. Infeksi melalui kontak
langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara
langsung atau tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini
dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan staphylococcus aureus.
Dapat juga melalui cairan yang diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis
dan HIV. Peralatan dan instrumen kedokteran, makanan yang tidak steril, tidak
dimasak dan diambil menggunakan tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi
silang.
4. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan
penggunaan antibiotika penicillin antara tahun 1950-1970, banyak penyakit yang
serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan. Bagaimana pun juga,
keberhasilan ini menyebabkan penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari
antibiotika. Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas terutama
terhadap pasien yang immunocompromised. Resitensi dari bakteri ditransmisikan
antar pasien dan faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan
antibiotika yang terus-menerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan
penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya karena:
a) Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan
tidak terkontrol
b) Dosis antibiotika yang tidak optimal
c) Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika
yang terlalu singkat
d) Kesalahan diagnose
Banyaknya pasien yang mendapat obat
antibiotika dan perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika
mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap obat-obatan tersebut.
Penggunaan antibiotika secara besar-besaran untuk terapi dan profilaksis adalah
faktor utama terjadinya resistensi. Banyak strain dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten terhadap banyak
antibiotika, begitu juga klebsiella dan pseudomonas aeruginosa juga telah
bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di
negara-negara berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau tidak
tersedia.
Infeksi nosokomial
sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, serta
menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah penderita yang dirawat,
seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit, pengobatan atau umur,
mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya resistensi bakteri terhadap
antibiotika.
5. Faktor alat
Infeksi nosokomial sering disebabkan
karena infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus,jarum suntik, infeksi
saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Selain
itu pemakaian infus dan kateter urin yang lama tidak diganti-ganti, juga
menjadi penyebab utamanya. Di ruang penyakit, diperkirakan 20-25% pasien
memerlukan terapi infus.
Ada berbagai
komplikasi kanulasi intravena yang berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.
Komplikasi tersebut berupa:
a) Ekstravasasi infiltrate : Cairan infus masuk ke
jaringan sekitar insersi kanula
b) Penyumbatan : Infus tidak berfungsi
sebagaimana mestinya tanpa dapat dideteksi adanya gangguan lain
c) Flebitis : Terdapat pembengkakan,
kemerahan dan nyeri sepanjang vena
d) Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh
vena yang menghambat aliran infuse
e) Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme
dari bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
f) Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen
dari kanul
g) Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus
di sekitar insersi kanula
Faktor-faktor yang berperan dalam
meningkatkan komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter,
pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter
yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan pronsip anti sepsis,
cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media
pertumbuhan mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk
pengaturan tetes obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman
pada ujung kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.
Berikut ini adalah beberapa alat
yang sering menjadi media transmisi dalam penyebaran infeksi nosokomial :
1. Kateter
Kateter adalah sebuah pipa yang kosong yang terbuat dari logam,
gelas, karet, plastik, yang cara penggunaannya adalah dimasukkan kedalam rongga
tubuh melalui saluran.
2. Jarum Suntik
Jarum suntik atau Injection Needles
adalah alat yang digunakan untuk menyuntik, dan tentunya digabung dengan alat
suntik (spuit).
Macam – macam jarum suntik :
a) Jarum
suntik yang umum
b) Jarum suntik gigi
c) Jarum suntik spinal
d) Jarum suntik bersayap
e) Alat–alat untuk mengambil atau memberikan darah
atau cairan.
f) Soluset : Alat untuk memberikan
cairan infus.
g) Blood donor set : Alat untuk mengambil darah dari donor.
D. Rantai Infeksi
Nosokomial
Mikroorganinisme dapat hidup di manapun dalam lingkungan kita.
Pada manusia dapat ditemukan pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, usus, dan
organ genital. Disamping itu mikroorganisme juga dapat hidup pada hewan,
tumbuhan, tanah, air, dan udara. Beberapa mikroorganisme lebih patogen dari
yang lain, atau lebih mungkin menyebabkan penyakit. Ketika daya tahan manusia
menurun, misalnya pada pasien dengan HIV/AIDS (Depkes, 2007).
Semua manusia rentan terhadap
infeksi bakteri dan sebagian besar jenis virus. Jumlah (dosis) mikroorganisme
yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada pejamu atau host yang rentan
bervariasi sesuai dengan lokasi. Risiko infeksi cukup rendah ketika
mikroorganisme kontak dengan kulit yang utuh dan setiap hari manusia menyentuh
benda di mana terdapat sejumlah mikroorganisme di permukaannya. Risiko infeksi
akan meningkat bila area kontak adalah membran mukosa atau kulit yang tidak utuh.
Risiko infeksi menjadi sangat meningkat ketika mikroorganisme berkontak dengan
area tubuh yang biasanya tidak steril, sehingga masuknya sejumlah kecil
mikroorganisme saja dapat menyebabkan sakit Agar bakteri, virus dan penyebab
infeksi lain dapat bertahan hidup dan menyebar, sejumlah faktor atau kondisi
tertentu harus tersedia.
Faktor-faktor penting dalam penularan mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dari orang ke orang antara lain :
1. Reservoir Agen
Reservoir adalah tempat
mikroorganisme patogen mampu bertahan hidup tetapi dapat atau tidak dapat
berkembang biak. Pseudomonas bertahan hidup dan berkembang biak dalam reservoir
nebuliser yang digunakan dalam perawatan pasien dengan gangguan pernafasan. Resevoir
yang paling umum adalah tubuh manusia. Berbagai mikroorganisme hidup pada kulit
dan rongga tubuh, cairan, dan keluaran. Adanya mikroorganisme tidak selalu
menyebabkan seseorang menjadi sakit.
Carrier (penular) adalah manusia atau binatang yang tidak menunjukan
gejala penyakit tetapi ada mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka yang dapat
ditularkan ke orang lain. Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier virus
hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala infeksi. Binatang, makanan, air,
insekta, dan benda mati dapat juga menjadi reservoir bagi mikroorganisme
infeksius. Untuk berkembang biak dengan cepat, organisme memerlukan lingkungan yang
sesuai, termasuk makanan, oksigen, air, suhu yang tepat, pH, dan cahaya (Perry
& Potter, 2005).
2. Portal keluar (Port of
exit)
Setelah mikrooganisme
menemukan tempat untuk tumbuh dan berkembang biak, mereka harus menemukan jalan
ke luar jika mereka masuk ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Pintu keluar
masuk mikroorganisme dapat berupa saluran pencernaan, pernafasan, kulit, kelamin,
dan plasenta (Perry & Potter, 2005).
3. Cara penularan (Mode of transmision)
Cara penularan bisa langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung misalnya; darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin,
dan secara tidak langsung melalui manusia, binatang, benda-benda mati, dan
udara
(Perry & Potter, 2005).
4. Portal masuk (Port of entry)
Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki
tubuh. Kulit adalah bagian rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit merupakan
tempat masuk mikroorganisme. Mikroorganisme dapat masuk melalui rute yang sama
untuk keluarnya mikroorganisme (Perry & Potter,2005).
5. Kepekaan dari host (host susceptibility)
Seseorang terkena infeksi
bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius. Kerentanan tergantung pada
derajat ketahanan individu terhadap mikroorganisme patogen. Semakin virulen
suatu mikroorganisme semakin besar kemungkinan kerentanan seseorang. Resistensi
seseorang terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan vaksin (Perry &
Potter, 2005).
E. Pencegahan
Infeksi Nosokomial
Perawat dapat mencegah terjadinya atau menyebarnya infeksi dengan
meminimalkan jumlah dan jenis organisme yang di tularkan ke daerah yang
menanami infeksi. Menghancurkan reservoar infeksi, mengontrol portak keluar dan
masuk serta menghindari tindakan yang dapat, menularkan mikroorganisme,
mencegah bakteri menemukan tempat untuk bertumbuh. Penggunaan alat-alat steril
dan cuci tangan dengan tepat. Perawat melaksanakan perinnsip dan prosedur
tertentu untuk mencegah dan mengontrol penyebarannya. Selama perawatan rutin
setiap hari. Adapun asepsi medisnya yaitu :
1. Kontrol atau eliminasi agen infeksius
Pembersihan,
disinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang terkontaminasi secara
signifikan mengurangi dan sering kali memusnahkan mikroorganisme. Pada saat
objek kontak dengan material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi
terkontaminasi jika objek sekali pakai, objek tersebut di buang. Objek yang
dapat digunakan kembali harus dibersihkan seluruhnya bahkan didesinfeksi atau
disterilisasi sebelum di gunakan kembali.
2. Kontrol atau releminasi reservoar
Untuk
mengontrol atau menghancurkan resevoar infeksi, perawat membersihkan cairan
tubuh atau larutan yang dapat merupakan tempat mikroorganisme. Kontrol infeksi
untuk mengurangi reservoar infeksi, yaitu :
a. Mandi, gunakan sbu dan air membersihkan
drainase, sekresi yang kering.
b. Benda terkontaminasi, buang tisu, balutan
kotor atau linen kotor dalam katung tahun air untuk pembuangan yang tepat.
c. Jarum terkontaminasi, buang spuit dan jarum
hipodermik yang tidak terbungkus dan jarum intrafena dalam wadah yang tidak
tembus tusukan. Jangann menutup kembali jarum ataupun mencoba mematahkannya.
d. Luka bedah bertahankan saluran drainase dan
katung penampung tetap paten untuk mencegah akumulasi cairan serosa dibawah
permukaan kulit.
3. Kontrol terhadap portal keluar
Untuk
mengontrol organisme keluar melalui saluran pernafasan perawat harus
menghindari untuk berbicara langsung menghadap wajah klien, bersin, atau batuk
langsung diatas luka bedah. Perawat yang dmam ringan namun tetap bekerja harus
memakai masker, khususnya bila mengganti balutan atau melakukan procedure
steril.
4. Pengendalian penularan
Di rumah
sakit, di rumah klien harus memiliki set peralatan-peralatan pribadi
menggunakan bedpan, urinal, waskom mandi dan alat-alat makan secara bersama
dapat dengan mudah menularkan infeksi. untuk mencegah penularan mikroorganisme
kontak tidak langsung, peralatan dan bahan yang kotor harus di jaga supaya
tidak bersentuhan dengan baju perawat. Teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan.
5. Kontrol terhadap portal masuk
Dengan
mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa menurunkan kemungkinan
mikroorganisme mebcapai kejamu. Klien, tenaga perawat kesehatan dan bahkan
tenaga kebersihan berisiko mendapat infeksi dari tusukan jarum secara tidak
sengaja. Penyebab lainnya adalah penanganan dan penatalaksanaan yang tidak
tepat terhadap kateter. metode terakhir untuk mengurangi teknik membersihkan
luka.
6. Perlindungan terhadap pejamu yang rentan
Risistensi terhadap infeksi membaik jika
perawat melindungi pertahanan dalam tubuh terhadap infeksi tindakan pencegahan
isolasi termasuk penggunaan dengan tepat gownn sarung tangan, masker, dan kaca
mata serta peralatan dan pakaian perlindungan lainnya.
Pencegahan
dan pengendalian infeksi untuk petugas rumah sakit
1. Rencana kontrol-paparan untuk mengeliminasi atau
meminimalkan paparan terhadap pegawai rencana tersebut juga menggambarkan
menghindari paparan terhadap lembaga infeksius seperti kapan harus menggunakan
kapal perlindungan
2. Pemenuhan tindakan pencegahan standar untuk
mencegah kontak dengan darah atau materi infeksius lainnya.
3. Housekeeping. Tempat kerja harus di pelihara
dalam kondisi bersih dan sehat.
4.
Resiko tinggi terpapar
5. Pelatihan. pimpinan harus memastikan bahwa
semua pegawai yang berisiko terhadap paparan di tempat kerja ikut serta dalam
program pelatihan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Infeksi nosokomial adalah infeksi
yang timbul ketika di rumah sakit. Infeksi ini dapat menular melalui alat medis
dan menyerang pasien maupun tenaga medis.
Ada enam komponen dalam penyebaran infeksi nosokomial, yaitu
penyebab infeksi, sumber, tempat keluar, cara penularan, tempat masuk, dan
penjamu rentan.
Alat-alat medis yang biasanya
menjadi media transmisi adalah kateter, jarum suntik, dan alat–alat untuk
mengambil atau memberikan darah atau cairan.
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan
karena penggunaan alat medis adalah infeksi saluran kemih, pneumonia
nosokomial, bakteremi nosokomial, tuberkulosis, diarrhea dan gastroenteritis,
infeksi pembuluh darah, dipteri, tetanus dan pertusis.
Cara mencegah penularan infeksi
nosokomial melalui alat, yaitu dengan cara mensterilkan alat-alat secara baik
dan benar.
B. Saran
Sterilkan alat dengan benar
sesuai dengan prosedur.
Jagalah alat dari kontaminasi lingkungan sekitar.
Tangani dengan benar limbah rumah sakit.
DAFTAR
PUSTAKA
Potter, Patricia.A. 2005. Fundamental keperawatan. Jakarta:
Buku kedokteran EGC.
Setyawati, L.2002.Infeksi Nosokomial. Jakarta: Kumpulan
Bahan Kuliah Higiene Industri. UGM
Depkes.2003.Pedoman
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan.
No comments:
Post a Comment